Mula - mula
berembuklah semua orang yang hendak turut mendirikan rumah adat itu. Setelah
perembukan itu selesai dan sudah dapat diputuskan maka dipanggillah “ pandai tua ” ( tukang yang menjadi kepala untuk mendirikan rumah-
pemborong ) dan Guru Sibaso ( dukun ). Dari dukun tersebut ditanyakan hari yang baik untuk menebang pohon ke
hutan guna keperluan pembangunan rumah tersebut. Biasanya hari yang baik itu
ialah pada hari “ Salangsai ”.
Pada waktu yang sudah ditentukan itu,
pergilah orang - orang yang akan mendirikan rumah itu
ke hutan bersama dukun tersebut dan gadis yang kedua orang tuanya masih sehat.
Pertama kali ditebanglah kayu Nderasi.
Dipilih pohon tersebut karena namanya dalam pengucapan sama dengan serasi ( seia, sekata, sejalan ). Diharapkan dengan menggunakan pohon
Nderasi tersebut
siapa yang tinggal di rumah ini kelak dan para pembangunnya dapat hidup dengan
serasi. Sebelum pohon tersebut ditebang di bawah pohon itu diletakkan Belo
Cawir dan Kampil Tumba ( tempat
sirih ).
Pak
Ginting ( Desa Lingga, 45 Tahun ) menuturkan bahwa pada waktu dilakukan penebangan pertama,
hendaklah diperhatikan apakah penebangan pertama itu baik menurut gerek - gereken yang hanya dukun sanggup untuk menerangkannya.
Apabila penebangan pertama itu tidak baik diulangi lagi sehingga menurut gerek - gereken itu semuanya baik. Pangkal pohon itu dipotong dan
dikupas sedikit serta diikatkan daun simalem-malem daun itu terdiri dari : daun
sangketen, daun jung - jung bukit, jabi - jabi, dan bertuk. Dan dilakukan oleh gadis itu.
Kemudian Nderasi yang diikat dengan daun simalem - malem itu dibawa oleh gadis itu ke kampung dan sepanjang
jalan diserukan alop - alopa, wa – wa - wa. Dan sesampainya di rumah makanlah
semua orang. Dan seharian itu satu orang pun tidak boleh bekerja.
Setelah pohon - pohon itu dipilih dan ditandai dengan daun simalem - malem, maka keesokan harinya yakni hari kedua orang
berduyun - duyun berangkat ke hutan untuk
menebang kayu Nderasi itu, pandai tua juga pergi ke hutan untuk menebang kayu
Sebernaik yang dianggap juga bertuah.
Pada hari yang ketiga dan keempat dicari dan ditebang lagi beberapa kayu yang lain dan perlu untuk mendirikan rumah tersebut.
Pada hari yang ketiga dan keempat dicari dan ditebang lagi beberapa kayu yang lain dan perlu untuk mendirikan rumah tersebut.
Pada hari kelima disebut wari
Pesalangken. Dimana pada hari ini adalah hari libur bagi para pekerja. Pada hari ke enam masih dicari kayu
yang masih kurang. Pada
hari ketujuh, para tukang dan pemilik rumah berembuk untuk menetapkan hari
pebelit - belitken yakni membuat dan mengikat
suatu perjanjian, dan hasilnya disampaikan kepada penghulu kampung ( kepala desa ) dan kepada terpuk ( bagian-bagian ) kampung. Makanan selama pebelit - belitken itu ditanggung oleh orang - orang yang ingin membangun rumah tersebut dan ada
ketentuan-ketentuan mengenai hal tersebut.
Pak
Ginting menuturkan dalam
pembelit - belitken tersebut dibicarakan beberapa upah tukang, bagaimana pembayaran
upah itu, kapan bangunan itu selesai, apa - apa
saja kewajiban tukang dan pemilik rumah itu, hal - hal
itulah yang paling utama dipercakapkan pada hari itu. Untuk menguatkan
perjanjiannya kedua pihak antara tukang dan siempunya rumah saling memberikan
belit ( jaminan ) untuk menanggung apabila salah satu
pihak tidak menjalankan kesepakatan.Setelah perjanjian kedua belah pihak teguh
maka tukang pun meneruskan perjanjiannya. Untuk mengangkut kayu - kayu tersebut dari hutan dengan bantuan masyarakat
kampung.
Copy-Paste adalah perbuatan yang mencerminkan keburukan mental anak bangsa. Dilarang Mengcopy Sebagian atau keseluruhan dari artikel ini tanpa mencantumkan alamat blog ini http://www.bung-erdi.co.cc
Blog ini telah terproteksi dengan Copyscape.
Copy-Paste adalah perbuatan yang mencerminkan keburukan mental anak bangsa. Dilarang Mengcopy Sebagian atau keseluruhan dari artikel ini tanpa mencantumkan alamat blog ini http://www.bung-erdi.co.cc
Blog ini telah terproteksi dengan Copyscape.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentarnya :)